uwooskyes

#Last Chapter

Zee sudah bersiap-siap untuk menemani Odine di studio, keseharian Zee seperti inilah menemani sang teman bekerja. Ia sangat bosan di rumah, biasanya Zee meminta Abin bermain ke rumahnya atau ia menyuruh Abin menginap. Ponsel Zee berdering yang artinya ada orang yang menelponnya.

“Halo, ini siapa?”

“Gue Dina temennya Aca.”

“Oh nyari Aca ya, bentar.”

“Bukan bukan, ini gue mau nanya rumah Abin di mana ya?”

“Lo mau ngapain?”

“Mau ngapain lagi si, belum cukup ya nyakitin Abin dengan kelakuan lo itu.”

“Sorry, gue ada titipan dari Jiwa buat Abin.”

“Titipan apa lagi si.”

“Kalo lo mau tau, kita ketemu aja, gimana?”

“Yaudah, gue gak bisa lama-lama.”

“Oke nanti gue share lok ya.”

Setelah itu ia langsung mengambil kunci mobilnya dan berjalan menuju ke arah tempat yang dikirim oleh Dina.

Sesampainya Zee di sana ia langsung menghampiri Dina, “Ada apa?”

Dina memberi kotak tersebut ke Zee, “Jangan dibuka, mending lo kasihin aja ke Abinnya langsung,”

“Gue juga mau cerita kalo selama ini gue sama Jiwa cuma pura-pura bukan pure gue deket sama Jiwa.” ucap Dina.

Zee terlihat bingung dan ia meminta penjelasan lebih, Dina menjelaskan lebih detail apa yang terjadi selama ini antara dirinya, Jiwa, dan Abin.

Zee terkejut bukan main, ia sangat kesal dengan Jiwa bisa-bisanya Abin dibohongi selama ini dan lebih terkejut lagi mendengar bahwa Jiwa juga sedang berada di London.

“Abin lagi gak ada di sini,” kata Zee

“Dia juga pergi ke London.” lanjut Zee lagi.

Sekarang Dina yang terkejut, “Lo serius?”

Zee mengangguk, “Menurut lo mereka bakalan ketemu ga?”

“Mungkin tapi gak tau juga karena London kan luas.” ucap Dina.

Zee setuju dengan perkataan Dina itu, bagaimana jika mereka bertemu kembali di sana?


Suhu di London sudah mencapai -2° yang artinya dingin kali ini tidak main-main, Abin memutuskan untuk memakai jaket tebal miliknya. Hari ini ia berencana untuk makan di sebuah restoran yang direkomendasikan oleh Odine, nama restoran tersebut adalah Barge East Restaurant, restoran tersebut memiliki tempat yang unik dan tidak biasa karena restoran itu berbentuk perahu dan berada di pinggir danau.

Sudah 3 minggu Abin di London tapi rasanya hatinya masih tertinggal di Indonesia, ia makin merindukan Jiwanya. Terkadang Abin selalu bertanya pada dirinya, apakah ini semua salahnya atau mungkin memang sudah takdirnya seperti ini.

Akhirnya Abin sampai restoran tersebut, tak perlu lama-lama ia langsung mencari spot yang indah untuk dipandang, ia memilih duduk di outdoor sambil menikmati pemandangan yang mengarah ke danau. Selesai memesan ia langsung membuka ponselnya dan membuka aplikasi yang bernama instagram, ia mengambil bidikan yang tepat dan indah pada danau itu.

Disisi lain, Jiwa yang kini sedang sibuk dengan perusahaan milik keluarga ayahnya, pagi tadi ia harus pergi ke kantor karena ada pertemuan antar pemegang saham perusahaan milik keluarga ayahnya, siang tadi ia harus bertemu dengan pamannya membahas tentang bisnis dan sore ini baru saja selesai membahas tentang bisnis tersebut, sedikit demi sedikit Jiwa mengerti dan paham pada bidang ini yang sebenarnya Jiwa tidak ada niatan untuk terjun ke dunia bisnis.

Jiwa berdiri dan membereskan barang-barang miliknya, “Jiwa, kamu mau kemana?”

“Mau jalan sore aja si om kayanya sekalian dinner.” ucap Jiwa.

“Om rekomendasiin restoran yang enak, mau gak?” tanya paman Jiwa.

“Apa tuh om.” jawab Jiwa.

“Barge East Restaurant, itu keren lo restorannya makanannya juga enak.” kata paman Jiwa.

Jiwa pun mengangguk, “Makasih om kalo gitu aku duluan.”

sebenarnya ia tadi hanya ingin jalan-jalan sekitar apartementnya dan mencari makan sekitar itu namun entah kenapa hatinya berkata untuk pergi ke restoran tersebut, jadi mau tidak mau Jiwa mengendarai mobilnya menuju restoran tersebut.

Sesampainya di sana ia takjub melihat restoran ini, sebenarnya di Indonesia juga ada tapi tidak tahu kenapa Jiwa sangat menyukai ide bisnis seperti ini, bahkan setelah masukpun dinding-dinding nya dihias dengan lukisan-lukisan yang indah.

Karena restoran ini di pinggir danau berarti spotlightnya adalah danau maka dari itu Jiwa memilih untuk duduk di luar sambil memandangi danau yang indah.

“Andai di sini ada Abin, pasti dia seneng banget liat tempat ini.” bisik Jiwa.

Jiwa menatap wallpaper ponselnya yang ternyata masih menggunakan foto Abin, sungguh ia sangat merindukan bintang miliknya.


Abin melihat sekelilingnya, pandangan Abin terpaku ketika ia melihat satu laki-laki memakai kacamata hitam, berpakaian rapi seperti habis pulang kerja kantoran, “Itu kaya Jiwa deh,tapi gak mungkin juga dia ada di sini kan ini mah mata gue aja kali dah apalagi gue lg kangen gini udah pasti kebawa delusi ini mah.” ucap batin Abin.

Sedangkan di seberang sana juga memandang balik Abin dan seperti orang kebingungan, “Mirip Abin, rambutnya, senyumannya,” ucap Jiwa, “ah ini mah ngaco aja kali anjir pikiran gue ni pasti gara-gara abis liat ini makanya gue pikir tu cewe Abin.”

Destinasi selanjutnya yang akan dikunjungi Abin adalah Big Ben atau sering disebut dengan menara jam, menara jam ini terletak di sebelah utara Istana Westminster, London, Britania Raya. Kali ini tempatnya agak jauh dari restoran itu jadi Abin memilih untuk menggunakan taxi agar bisa sampai ke tempat tersebut.

Sedangkan Jiwa, apartemen miliknya itu berdekatan dengan Big Ben dan ia sering kali berjalan-jalan sekitar apartemennya yang dekat juga dengan Big Ben, tak lama setelah Abin pergi, Jiwa juga keluar dari restoran tersebut ia akan pulang ke apartemennya karena sesungguhnya ia sudah lelah seharian ini berada di luar.

Sesampainya Abin di kawasan Big Ben, ia langsung mencari tempat duduk agar bisa memandangi jalanan yang kini sedang ramai. Jiwa yang baru sampai parkiran apartemennya langsung menuju ke unit miliknya namun ia melupakan sesuatu yaitu ia harus membeli cemilan karena cemilan miliknya sudah habis jadi mau tidak mau ia harus turun kembali dan berjalan sedikit untuk pergi ke supermarket.

Abin kini sedang berjalan-jalan tanpa arah menyelusuri kawasan ini. Ia bingung harus kemana lagi, ia pikir bepergian sendiri itu menyenangkan namun ternyata tidak, tidak ada yang bisa diajak berbicara rasanya ia tetap kesepian. Jiwa keluar dari supermarket tersebut dan berjalan menuju apartemennya lagi, sebelum itu ia sudah mengingat-ingat agar tidak ada yang perlu dibeli lagi nanti.

Abin melihat adanya supermarket dan ia ingin membeli makanan ringan untuk dirinya, ia berjalan ke arah supermarket itu sedangkan Jiwa berjalan ke arah apartemennya yang dimana mereka jalan berlawanan arah tanpa mereka sadari mereka berada di lingkungan yang sama.


Inilah akhir kisah mereka, jalan mereka memang sudah berbeda dan berlawanan entah sejak kapan mereka seperti itu.

Tentu saja ini menyakitkan bagi mereka berdua, jika mereka memilih untuk tetap bersama nantinya akan jadi saling menyakiti. Memang sudah takdirnya mereka berpisah agar mereka sama-sama tidak lagi saling menyakiti dan mengecewakan.

Terkadang kita harus merelakan sesuatu hal bukan karena kita menyerah tapi mengerti bahwa ada hal yang tidak bisa dipaksakan karena apapun penjelasan dan alasannya kehilangan akan selalu terasa begitu menyakitkan dan ikhlas tidak melulu soal merelakan. Tetapi tulus ialah kondisi di mana kita melepaskan tanpa adanya beban dalam hati.

“Bagaimana pun kita sudah menjalani semua itu,biarlah segalanya menjadi kenangan yang akan selalu indah untuk dikenang.” – Bintang Kanaya.

#Ini Harinya

Hari ini adalah jadwal Abin pergi ke London untuk liburan,baru Aca yang datang untuk menemani Abin sedangkan Zee dan Odine masih dalam perjalanan.

Aca menatap Abin dengan tatapan sendu seperti ia tidak mau Abin pergi, “Beneran mau pergi ya Bin?”

Abin menatap balik ke arah Aca, “Jangan bikin gue gagal pergi deh.”

Aca tertawa kecil, “Itu emang niatnya.”

Abin menarik tangan Aca agar ia bisa menggenggamnya, “Ca lo berhak dapetin yang lebih baik dari gue, kalo kaya gini gue malah yang merasa gak pantes buat lo.”

Aca menggenggam balik tangan Abin, “Gue sayang sama lo tulus bin, mau berapa tahun nanti kedepan gue akan nunggu lo.”

Abin tersentuh dengan perkataan Aca namun ia masih takut,takut memulai semuanya dengan yang baru.


Jiwa sendirian sedang menunggu Dina dan katanya ia berangkat bersama pacar barunya,bunda Jiwa tidak bisa mengantarkan karena ada hal lain yang harus cepat-cepat diurus.

Jiwa menatap foto Abin yang kini masih tersimpan diponselnya, “Aku tau aku bikin kamu sedih banget Bin,setelah pertemuan kita kemarin itu malah bikin aku makin sakit,makin susah buat ngelepas kamu di sini.” ucap batinnya.

“Kasian banget cuy gamon.” kata Dina yang tiba-tiba duduk di samping Jiwa.

Jiwa menengok kanan kiri seakan-akan mencari orang, “Cowo lo mana?”

Dina menunjuk ke arah Jiwa, “Itu cowo gue.”

Jiwa menghela nafas, “Sialan gue kira beneran.”

Dina tertawa,ia merapikan rambut Jiwa yang sedikit berantakan, “Di sana lo harus bahagia ya Jiw,jangan pikirin Abin,” ucap Dina, “Abin di sini pasti juga bahagia soalnya masih ada Aca,tapi lo di sana sendiri jadi lo harus bahagia sama diri lo sendiri.”

Jiwa menatap mantan kekasihnya itu, “Haha iya bawel.”

“Lo berangkat jam berapa?” tanya Dina.

“Jam 4 sore an deh.” jawab Jiwa.

“Lo udah makan?” tanya Dina lagi.

“Belum si,ayo makan deh.” jawab Jiwa.

Dina mengeluarkan sesuatu dari tasnya, “Nih makan,” ucap Dina, “gue yang masak ni,makanan kesukaan lo kan.”

Jiwa tersenyum,Dina masih mengingat makanan kesukaannya. Jiwa makan dengan lahap tapi ia merindukan masakan buatan Abin. Rasanya sakit sekali sama-sama rindu namun terhalang oleh sesuatu yang tidak bisa runtuh.


Kini Abin sudah harus check-in karena sedikit lagi ia harus boarding,sedari tadi Zee sudah menangis ia ditenangkan oleh Aca,Zee merasa sangat kehilangan karena Zee memang lebih dekat dengan Abin berbeda dengan Odine,Odine lebih banyak menghabiskan waktu di studio karena tuntutan pekerjaan dibanding ia bermain bersama teman-temannya.

Abin memeluk Zee dengan erat sambil mengusap punggungnya, “Udah ih jangan nangis gue 2 bulan doang Zee.”

Setelah itu ia berpelukan dengan Odine, “Heh jangan sibuk sama kerjaan mulu sesekali ajak Zee main.”

Odine tersenyum, “Lo juga ya di sana harus bahagia-bahagia deh pokoknya.”

Selanjutnya yang ia peluk adalah lelaki baik nan tulus siapa lagi kalau bukan Aca, “Jangan sibuk main,Zee tu kesepian makanya gue selalu main sama dia,jangan lupa juga buat jaga diri dan Zee.”

“Iya tenang aja jangan khawatirin kita di sini,lo baik-baik aja pokoknya deh di sana.” ucap Aca.

Ada Arthur di sana,ketua osis angkatan Abin, “Thur jagain Odine loh ya,awas aja nyakitin dia.”

Arthur tersenyum saja tanpa menjawab perkataan Abin.

Abin membawa kopernya dan melambaikan tangan seakan-akan menjadi tanda perpisahan untuk mereka.


Jiwa berpamitan pada Dina, “Lo jaga diri baik-baik Din,jangan lupa lo makan,jangan minta tolong sama orang yang lo gak kenal.”

Dina memeluk Jiwa dengan sangat erat untuk terakhir kalinya, “Lo akan selalu jadi orang terindah yang pernah ada Jiw.”

Jiwa mengelus kepala Dina, “Makasih udah mau bantuin gue,gue titip ini.”

Jiwa memberi kotak kecil kepada Dina, “Buat Abin?”

Jiwa mengangguk, “Yaudah gue pamit,gue pergi dulu.”

Jiwa berjalan ke arah di mana ia harus berada tak lupa juga Jiwa melambai ke arah Dina.

“Aku pergi Ay,maafin aku. Aku sayang kamu apapun yang terjadi.” ucap batin Jiwa.

#Flashback

Jiwa sedang bersiap-siap untuk pergi ke Bandung karena ia dan bundanya diminta untuk datang ke rumah neneknya,entah ada apa yang jelas ini sangat mendadak sekali tadinya ia ingin memperbaiki hubungan dengan kekasihnya itu namun ternyata ada hal lain yang lebih penting.

Selama di perjalanan,bunda selalu ingat pada Abin, “Gara,bagaimana hubungan mu?”

Jiwa menjawab dengan santai seakan-akan memang ia sudah berbaikan, “Ya baik-baik aja si bun.”

Bunda mengucap Alhamdulillah,memang bunda sangat menyukai Abin dan Abin pun sudah menganggap bunda seperti orang tuanya sendiri.

Sesampainya mereka di Bandung,tanpa basa-basi nenek pun berbicara, “Gara kamu ini cucu nenek yang pertama kamu juga seorang lelaki dan sebaiknya kamu ikuti perkataan nenek ini.”

Jiwa yang terlihat bingung pun bertanya apa yang dimaksud nenek, “Maksud nenek?

“Kamu sekolah di luar ya sekalian belajar bisnis bersama adiknya ayah mu karena bagaimanapun kamu anaknya dan berhak untuk menjadi pemegang perusahaan keluarga kita.” kata nenek Jiwa.

Jiwa terkejut bukan main yang ada dipikirannya saat ini adalah Abin bagaimana Abin kalau ia tahu bahwa mereka tidak jadi sekampus dan akan berhubungan jarak jauh.

“Ma,apa gak bisa nanti dulu.” tawar bunda Jiwa.

Nenek Jiwa menggeleng-geleng kepala seakan-akan tidak menyetujui, “Apa-apaan kamu kapan lagi loh Gara belajar bisnis selagi dia masih muda ini.”

“Nek tapi Gara lebih suka di sini kuliah di sini lagian kampus Gara kampus bagus juga nek.” ucap Jiwa.

“Kamu tidak bisa menolak Gara,sudah ikuti saja.” tutur nenek Jiwa.

“Waktu kamu 2 minggu lagi sebaiknya persiapkan semuanya sekarang.” kata nenek Jiwa.

Jiwa menghela nafas dan memutar balik badannya berjalan ke arah kolam ikan yang ada di belakang rumah.

Bunda menghampiri Jiwa yang sedang melamun, “Maafin bunda nak...”

“Bukan salah bunda kok. Gapapa Gara pergi ya bun.” izin Jiwa.

“Kamu tidak terpaksa Gara?” tanya bunda.

“Sedikit tapi kalo aku ngebantah malah jadi masalah kan bun.” jawab Jiwa menatap sang bunda.

“Bun tolong titip Abin ya,Gara masih ada waktu dua minggu jadi lumayan lah.” kata Jiwa.

Bunda mengusap kepala anak laki-lakinya yang kini sudah makin dewasa dalam menghadapi masalah,bunda terlihat bangga pada anak satu-satunya ini.

Setelah pulang dari Bandung,Jiwa langsung buru-buru menghubungi Dina untuk mengajak kerja sama atas ide gila seorang Jiwasyagara Purnama.

#last meet

Kini mereka sudah ada di perjalanan menuju cafe Jiwa,malam ini terasa dingin karena di luar sedang hujan. Abin terlihat kedinginan maka dari itu Odine menepikan mobilnya sebentar di jalan untuk menyelimuti Abin yang sedang tertidur mungkin karena kecapean.

Zee menggoyangkan badan Abin pelan untuk membangunkannya, “Bin udah sampe.”

Abin membuka matanya dan melihat ke sekeliling tempat ini,benar ini cafe milik Jiwa. Abin turun dari mobil membawa payung dan ia menggandeng Zee.

“Odine mana?” tanya Abin yang sadar Odine tidak ada.

“Dia duluan sekalian mesenin.” jawab Zee.

Abin melihat Odine melambai-lambai langsung saja mereka menghampiri Odine,selalu ramai cafe ini,rasanya tidak pernah kosong. Yang sekarang ia tempati juga tempat duduk yang sama pada pertemuan kedua mereka yang saat itu Abin ingin mengembalikan jam tangan milik Jiwa.

Abin melihat keberadaan Jiwa, tanpa basi-basi ia langsung menghampirinya.

Odine dan Zee telat menahannya karena Abin kini sedang memeluk Jiwa,dan sekarang mereka menjadi tontonan gratis para pengunjung.

“Bin ke ruangan aku duluan gih.” ucap Jiwa sambil mengelus rambut Abin pelan.

Seakan-akan Abin terhipnotis Abin menurut saja dengan apa yang dikatakan Jiwa, ia langsung berjalan ke arah ruangan Jiwa.

Zee dan Odine sudah misuh-misuh karena terlihat sekali bodohnya Abin.

Jiwa membuka pintu ruangannya yang terletak di lantai 2,Abin menatap ke arah luar yang kini sedang hujan.

“Duduk bin.” suruh Jiwa.

“Jiw maaf, maaf apapun itu kesalahan aku yang bikin kamu jauh dari aku. perlu kamu tau kalo aku sayang sama kamu sampai sekarang, nanti, besok, ataupun selamanya Jiw,” ucap Abin, “aku gapapa kalo kamu mau balik sama Dina ataupun kamu sama siapapun tapi kamu perlu inget ada aku kalo kamu gak nyaman sama mereka, pulang ke aku Jiw.”

“Walaupun hubungan kita gak lama tapi rasa yang aku miliki jangka panjang buat kamu Jiw.” kata Abin tersenyum.

Jiwa hanya diam, tanpa mengucapkan sepatah kata Jiwa langsung memeluk erat Abin, “Kamu juga harus tau aku sayang banget sama kamu dan apapun yang terjadi nanti aku tetap sayang kamu Ay.” ucap Jiwa dalam hati

Malam ini adalah malam pertemuan terakhir mereka sebelum mereka saling meninggalkan.

#last day

“Mau kemana dulu?” tanya Odine kepada Zee dan Abin yang sedang rebutan chiki.

Odine melempar buku kecil ke arah mereka berdua, “Stop anjing cepet jawab mau kemana.”

Abin yang kesakitan pun menjawab dengan ketus, “Bowling bangsat gue timpuk balik lo.”

Zee tertawa, “Bisa gak lo jangan pergi dulu?”

Abin menatap Zee, “Jangan bikin gagal rencana gue dong.”

“Gue ganti uang tiket lo deh.” ucap Zee.

Abin merangkul Zee dan berjalan ke arah Odine, “Niat banget ya bu.”

Odine mengambil kunci mobilnya, “Ayo nanti keburu sore.”

Mereka sedang dalam perjalanan menuju tempat bowling di mana waktu itu adalah pertemuan pertama kali di antara Jiwa dan Abin. Sesampainya mereka langsung bermain namun hanya Odine dan Zee saja yang bersemangat,Abin sedang menatap tempat Jiwa berada pada saat itu,ia sungguh rindu pada lelaki itu. Rasanya Abin bermimpi karena sekian lamanya ia tidak jatuh cinta dan sekalinya jatuh cinta kisahnya tak semulus bayangannya selama ini.

“Ini tempat di mana kita ketemu Jiw,aku foto kamu,kamu ninggalin jam kamu dengan sengaja,kita ketemuan dan jadi lebih dekat karena kita pergi bareng ke Bandung.” bisik batin Abin.

Zee mengusap bahu Abin agar Abin tidak menangis hari ini.


Tempat selanjutnya adalah lapangan tennis,sebenarnya ini adalah tempat yang akan Jiwa dan Abin datangi nanti namun ternyata takdir berbeda dari apa yang mereka rencanakan tapi tak apa,setidaknya Abin tetap mengunjungi walaupun tidak bersama Jiwa.

Lagi-lagi Abin tidak bermain,ia sibuk memperhatikan tempat ini dari ujung ke ujung mungkin ia sedang membayangkan bagaimana kalau suatu hari itu jadi.

“Liat tempat ini bikin aku seneng Jiw,walaupun perginya gak sama kamu tapi aku merasa kamu ada di sini sama aku duduk di samping aku terus kamu bilang gini,” ucap Abin tersenyum, “Ayo taruhan yang kalah harus peluk lama banget.”

“Kamu sendiri kan yang bilang gitu tiap kita lagi main bareng apapun itu.” tutur Abin

Abin meninggalkan tempat itu tanpa sepengetahuan teman-temannya,Abin berlari menuju mobil Odine.

Odine yang melihat itu langsung berlari mengejar Abin. Namun seketika Ia berhenti,ia melihat Abin sedang duduk dan bersandar pada belakang mobil Odine,Abin sedang menangis.

“Zee jangan.” Odine menahan Zee untuk menghampiri Abin.

“Ayo main lagi aja.” ajak Odine.

Zee melepas genggaman Odine, “Din Abin lagi butuh dipeluk ayo kita peluk dia.”

Odine menggeleng-geleng, “Bukan,dia lagi butuh nangis sendirian Zee,”

“Biarin aja dia nangis sampe puas nanti kita pura-pura gak tau aja.”

Odine melanjutkan permainannya sedangkan Zee duduk di dekat lapangan ia terlihat khawatir pada Abin.

#Mama

Pov Abin

Pagi ini gue berencana buat ke rumah mama dulu baru lanjut pergi ke academy,gue akan ninggalin rumah ini selama 2 bulan dan lebih memilih untuk gak ikutan prom night padahal gue,Zee,dan Odine udah nyiapin gaun buat acara itu tapi sayangnya harus gagal dan untungnya mereka gak marah sama gue karena itu.

“Bi aku pergi dulu ya,aku pulang malem nanti bibi pulang sore aja baru nanti pagi ke rumah lagi.” ucap gue sambil berjalan ke arah garasi.

Khusus hari ini gue pengen pergi sendirian tanpa supir,biar lebih leluasa aja kalo nanti nangis di jalanan. Rumah mama selalu jadi tempat singgah gue disaat gue lagi merasa sedih karena sebenarnya gue paling deket sama mama tapi sayangnya Allah lebih sayang sama mama. Indah banget rumah mama,rapih,dan bersih.

Gue mencium batu nisan yang tertulis nama mama di sana, “Ma Kanaya kangen banget sama mama,” ucap Gue yang berkaca-kaca, “Kanaya besok pergi ma Kanaya izin ya sama mama nanti malem juga Kanaya main ke rumah ayah mau nengokin Aya.”

Gue menyiramkan air mawar dan menaburkan bunga,tak lupa juga gue berdoa untuk mama. Gue mengusap dan menatap nisan mama dengan lembut gue berharap mama masih hidup sampai sekarang, “Ma Kanaya pulang ya nanti mama main ke mimpi Kanaya ya.” gue mencium nisannya lagi untuk terakhir kali sebelum pergi meninggalkan tempat peristirahatan mama selamanya.

#Siap?

Abin keluar kamar dan melihat kondisi ruang tamu yang sepi entah mereka pada di mana,Abin menuju dapur dan betapa terkejutnya ia melihat Aca yang sedang memasak.

“Ngapain lo?” tanya Abin.

Aca terkejut mendengar suara Abin, “Astaga Bin kaget anjir.”

Aca menunjuk masakannya, “Lagi buatin lo makan.”

“Emang gue mau makan?” tanya Abin.

“Harus mau ini enak banget rasanya 11 12 sama restoran bintang 10.” jawab Aca.

Abin tersenyum kecil, “Bintang cuma ada 1.”

“Iya lo kan bintangnya gue.” ucap Aca sambil menaikan kedua alisnya.

Abin melempar sayuran yang ada di dekatnya ke arah Aca, “Basi banget.”

Abin memutar badannya berniat meninggalkan Aca namun Aca menahannya dan menarik Abin ke dalam pelukannya.

“Jangan sedih,lo gak pantes dibikin sedih sama orang macem dia.” ucap Aca sambil mengusap rambut Abin.

Abin terlihat seperti menahan tangisnya karena ia tidak mau menangis dihadapan teman-temannya, “Ada gue Bin tenang aja kalo lo ada apa-apa bisa bilang gue.” kata Aca.

Zee yang melihat adegan mereka berpelukan pun sengaja batuk agar mereka sadar bahwa di situ ada Zee juga.

“Ehem uhuk uhuk aduh aduh air mana air.” ucap Zee.

Mereka berdua yang sadar ada orang lain langsung ikutan panik mencari air untuk Zee.

Zee tertawa, “Hahaha gue boongan.”

Abin yang melihat itu langsung menghampiri Zee dan menjitak dahi Zee, “Sialan lo.”

Zee langsung memeluk sahabatnya itu, “Jangan ngurung mulu di kamar ntar gue usir lo,” ucap Zee, “Bin jangan sedih lagi ya udah ayo kita liburan aja.”

“Besok gue mau pulang.” kata Abin yang melepas pelukan Zee.

“Mau kemana?” tanya Aca.

“Pulang aja gue kangen rumah.” jawab Abin.

Aca mendekat ke arah Abin, “Kalo ada apa-apa telpon gue.”

“Aduh masih aja lo bedua.” ucap Zee.

“Apaan.” kata Abin.

“Tembak dong Ca.” usul Zee.

“Iya nanti.” kata Aca.

Abin terlihat kaget mendengar perkataan Aca karena sebenarnya ia sudah tidak bisa lagi bersama Aca.

#Akhir

Seselesainya mereka berdua berbincang Odine pamit pulang karena ia masih ada pemotretan,Abin memilih tetap menunggu Aca. Selagi Abin menunggu,Abin melihat ke arah dua sejoli yang sedang tertawa sepertinya mereka sepasang kekasih karena terlihat sekali aura bahagia mereka namun Abin seperti mengenali dua orang tersebut.

Abin berbisik, “Itu Jiwa? atau bukan? tapi baju itu baju yang gue pilihin waktu beli baju sama gue.”

Ternyata tebakan Abin benar,dua orang tersebut adalah Jiwa dan Dina,Abin kini berjalan ke arah mereka.

Abin memukul kencang meja restoran tersebut, “Oh ini yang kamu bilang break? KARENA KAMU UDAH MAIN BELAKANG SAMA PEREMPUAN INI IYA KAN JIWA?” bentak Abin yang emosinya tinggi sekali.

“Aaabiin.” ucap Dina terbata-bata.

“Kita lagi break kan,yauda berarti suka-suka gue mau jalan sama siapapun.” ucap Jiwa tegas.

Abin yang mendengar ucapan itu langsung jatuh karena lemas tak berdaya,Dina ingin membantu namun Jiwa menahan tangannya.

“Gak usah bertingkah,” ucap Jiwa, “cowonya dateng tu.”

Aca melihat kejadian tersebut ingin sekali memukul muka Jiwa lagi namun ia lebih memilih membantu Abin berdiri dan menuntun Abin ke luar restoran tersebut.

Sebelum Aca keluar ia menatap ke arah Jiwa dan Dina berada, “Kalian berdua gak lebih baik dari sampah.”

#List 3

Malam ini entah mengapa cuacanya dingin sekali sampai terasa ditulang,mereka kini sedang menyelusuri jalanan tanpa adanya tujuan. Didi merasa ini seperti mimpi karena ia tidak pernah membayangkan dirinya dekat kembali dengan cinta pertamanya,dulu saat mereka kecil mereka sering sekali bermain,hampir setiap hari mereka selalu bersama karena kebetulan mereka tetanggaan dan orang tua merekapun sudah berteman sejak dulu kala jadi mereka tambah dekat karena itu. Keluarga Kale memutuskan pindah saat Kale berumur 8 tahun karena nenek dan kakek kale membangun rumah sakit dan orang tua kale diminta untuk menjadi direktur di rumah sakit tersebut dan setelah itu Kale dan Didi kehilangan kontak sampai akhirnya mereka bertemu lagi di sekolah yang sama.

Kale membuka kaca helmnya, “Seneng gak?”

Didi mendekatkan wajahnya ke arah Kale agar omongan Kale terdengar, “Hah lo ngomong apa?”

Kale tertawa melihat tingkah Didi yang menggemaskan. Kale berhenti sejenak dan melepas helmnya, “Seneng gak?”

Didi yang kaget melihat Kale menghadap ke arah Didi, “Hah aduh kaget eh seneng kok.”

“Mau makan gak?” tanya Kale.

“Mau mau.” jawab Didi yang tersenyum mendengar ajakan Kale.

“Sate mau?” tanya Kale lagi.

“Apa aja kalo sama lo mau mau aja le.” jawab Didi.

Kale tersenyum salah tingkah, “Bisa aja lo.”

Kale memasang helmnya lagi dan mengendarai motornya lagi ke arah di mana tempat makan sate berada.

Sesampainya mereka di sana,Kale langsung memesan makanan untuk mereka berdua. Kale duduk di hadapan Didi, “Ini sate enak banget deh pokoknya.”

Didi mengangguk seakan-akan setuju, “Iya gue mah setuju aja deh.”

“Kenapa badmood?” tanya Kale.

Didi bingung harus jawab apa tidak mungkin kan ia jawab kalo penyebabnya karena Kale dan Devy satu divisi, “Itu Adam ngeselin gue diminta jadi ketua.”

“Ngeselin emang tu orang,” kata Kale, “masa tiba-tiba gue satu divisi sama Devy gak ada pemberitahuan apa-apa lagi.”

Didi merasa tidak terima, “Wah sialan Adam.”

Kale tertawa, “Haha udah gapapa walaupun gue males berurusan sama Devy juga tapi ya mau gimana lagi.”

“Ah lo mah pasrah aja,” tutur Didi, “Sok males lo aslinya juga blm move on kan sama Devy.”

Kale menyentil dahi Didi pelan, “Sok tau banget si Didiska.”

“Ih sakit Vano.” ucap Didi sambil tertawa.

Malam ini terasa sangat indah buat Didi karena ia bisa mewujudkan salah satu listnya dan ia pun masih tetap berusaha mewujudkan list yang lain.

#Diam

Flashback dua hari yang lalu.

Hari ini cuaca sedang tidak bersahabat karena dari pagi hari sampai sore hujan terus turun,Abin memutuskan pulang hari ini ia berniat menggunakan aplikasi online untuk mengantarkan dirinya pulang ke rumah. Handphone Abin berbunyi menandakan adanya sebuah notif yang ternyata itu dari Aca,teras rumah Zee memang selalu jadi tempat favorite Abin karena di sana ia bisa merasakan angin sepoi-sepoi yang membuat dirinya nyaman berada di sana selain itu teras rumah Zee juga tempat ia menolak dan mengakhiri perasaan untuk Aca berat rasanya memilih menolak karena jauh dilubuk hati Abin yang paling dalam ia juga mencintai Aca tapi Abin lebih memilih persahabatannya dibanding rasa cinta kepada Aca.

Abin terpaksa untuk mengiyakan ajakan Aca karena Zee yang memintanya,kini mereka berdua berada di dalam mobil yang menuju rumah Abin. Aca melihat Abin kedinginan, “Nih pake jaket gue.” Aca memberi jaketnya yang kebetulan ia simpan dimobil.

Selama perjalanan terasa hening karena dari mereka berdua tidak ada yang memulai pembicaraan sampai akhirnya Aca mulai bicara, “Kalo lu sedih ada gue bin jangan pernah ngerasa sendiri kalo gue gak bisa jadi rumah lu gapapa bin jadiin gue tempat singgah lu.”

Abin terkejut mendengar perkataan Aca yang seperti itu, “Ca,jangan gini coba deh lu deketin Odine dulu lagian Odine lebih baik dari gue.”

“Bukan gue gak mau deketin Odine bin tapi rasa gue masih ada sama lo.” kata Aca.

Abin menghela nafas merasa sangat tidak enak pada Odine, “Kita udah gak bisa sama-sama Ca,lo mau nunggu apa?”

Aca meminggirkan mobilnya agar ia bisa leluasa berbicara dengan Abin, “Gue juga udah gak berharap bisa sama-sama sama lo bin gue cuma mau lo bahagia aja,” kata Aca, “gue mau nunggu lo sampe lo bahagia setelah itu baru gue lepasin lo sepenuhnya.”

Abin menengok ke arah Aca, “Ca gue sekarang bahagia kok.”

“Dengan kelakuan Jiwa yang masih mau berurusan sama Dina? lo yakin lo bahagia?” tanya Aca.

“Gue bahagia atau gak biar jadi urusan gue Aca,” jawab Abin.

“Odine nunggu lo udah lama loh Ca kasian.” ucap Abin.

Aca mengenggam stir kuat seperti menahan emosi, “Lo gak kasian sama gue bin? selalu lo bilang kasian Odine kasian Odine tapi lo gak mikir perasaan gue gimana.”

Abin memeluk Aca guna menenangkan Aca agar tidak emosi, “Maaf Aca,tapi gue mau lo bahagia juga Ca,”

“Paksa aja kadang kita harus ngejalaninnya terpaksa kan lama-lama jadi kebiasa.” kata Abin.

“Lo tau kan apa yang terpaksa itu gak akan berhasil,kalo nanti gue malah nyakitin temen lo gimana?” tanya Aca.

Abin menampar pelan pipi Aca, “Lo bakalan dapetin ini tapi yang lebih keras.”

Aca tertawa sedikit, “Gue coba.”

Abin tersenyum mendengar perkataan Aca bahwa ia ingin mencoba membuka hatinya untuk Odine.

Di sisi lain ada seseorang yang melihat Aca dan Abin berpelukan dimobil, “Brengsek mereka.”