#Last Chapter

Zee sudah bersiap-siap untuk menemani Odine di studio, keseharian Zee seperti inilah menemani sang teman bekerja. Ia sangat bosan di rumah, biasanya Zee meminta Abin bermain ke rumahnya atau ia menyuruh Abin menginap. Ponsel Zee berdering yang artinya ada orang yang menelponnya.

“Halo, ini siapa?”

“Gue Dina temennya Aca.”

“Oh nyari Aca ya, bentar.”

“Bukan bukan, ini gue mau nanya rumah Abin di mana ya?”

“Lo mau ngapain?”

“Mau ngapain lagi si, belum cukup ya nyakitin Abin dengan kelakuan lo itu.”

“Sorry, gue ada titipan dari Jiwa buat Abin.”

“Titipan apa lagi si.”

“Kalo lo mau tau, kita ketemu aja, gimana?”

“Yaudah, gue gak bisa lama-lama.”

“Oke nanti gue share lok ya.”

Setelah itu ia langsung mengambil kunci mobilnya dan berjalan menuju ke arah tempat yang dikirim oleh Dina.

Sesampainya Zee di sana ia langsung menghampiri Dina, “Ada apa?”

Dina memberi kotak tersebut ke Zee, “Jangan dibuka, mending lo kasihin aja ke Abinnya langsung,”

“Gue juga mau cerita kalo selama ini gue sama Jiwa cuma pura-pura bukan pure gue deket sama Jiwa.” ucap Dina.

Zee terlihat bingung dan ia meminta penjelasan lebih, Dina menjelaskan lebih detail apa yang terjadi selama ini antara dirinya, Jiwa, dan Abin.

Zee terkejut bukan main, ia sangat kesal dengan Jiwa bisa-bisanya Abin dibohongi selama ini dan lebih terkejut lagi mendengar bahwa Jiwa juga sedang berada di London.

“Abin lagi gak ada di sini,” kata Zee

“Dia juga pergi ke London.” lanjut Zee lagi.

Sekarang Dina yang terkejut, “Lo serius?”

Zee mengangguk, “Menurut lo mereka bakalan ketemu ga?”

“Mungkin tapi gak tau juga karena London kan luas.” ucap Dina.

Zee setuju dengan perkataan Dina itu, bagaimana jika mereka bertemu kembali di sana?


Suhu di London sudah mencapai -2° yang artinya dingin kali ini tidak main-main, Abin memutuskan untuk memakai jaket tebal miliknya. Hari ini ia berencana untuk makan di sebuah restoran yang direkomendasikan oleh Odine, nama restoran tersebut adalah Barge East Restaurant, restoran tersebut memiliki tempat yang unik dan tidak biasa karena restoran itu berbentuk perahu dan berada di pinggir danau.

Sudah 3 minggu Abin di London tapi rasanya hatinya masih tertinggal di Indonesia, ia makin merindukan Jiwanya. Terkadang Abin selalu bertanya pada dirinya, apakah ini semua salahnya atau mungkin memang sudah takdirnya seperti ini.

Akhirnya Abin sampai restoran tersebut, tak perlu lama-lama ia langsung mencari spot yang indah untuk dipandang, ia memilih duduk di outdoor sambil menikmati pemandangan yang mengarah ke danau. Selesai memesan ia langsung membuka ponselnya dan membuka aplikasi yang bernama instagram, ia mengambil bidikan yang tepat dan indah pada danau itu.

Disisi lain, Jiwa yang kini sedang sibuk dengan perusahaan milik keluarga ayahnya, pagi tadi ia harus pergi ke kantor karena ada pertemuan antar pemegang saham perusahaan milik keluarga ayahnya, siang tadi ia harus bertemu dengan pamannya membahas tentang bisnis dan sore ini baru saja selesai membahas tentang bisnis tersebut, sedikit demi sedikit Jiwa mengerti dan paham pada bidang ini yang sebenarnya Jiwa tidak ada niatan untuk terjun ke dunia bisnis.

Jiwa berdiri dan membereskan barang-barang miliknya, “Jiwa, kamu mau kemana?”

“Mau jalan sore aja si om kayanya sekalian dinner.” ucap Jiwa.

“Om rekomendasiin restoran yang enak, mau gak?” tanya paman Jiwa.

“Apa tuh om.” jawab Jiwa.

“Barge East Restaurant, itu keren lo restorannya makanannya juga enak.” kata paman Jiwa.

Jiwa pun mengangguk, “Makasih om kalo gitu aku duluan.”

sebenarnya ia tadi hanya ingin jalan-jalan sekitar apartementnya dan mencari makan sekitar itu namun entah kenapa hatinya berkata untuk pergi ke restoran tersebut, jadi mau tidak mau Jiwa mengendarai mobilnya menuju restoran tersebut.

Sesampainya di sana ia takjub melihat restoran ini, sebenarnya di Indonesia juga ada tapi tidak tahu kenapa Jiwa sangat menyukai ide bisnis seperti ini, bahkan setelah masukpun dinding-dinding nya dihias dengan lukisan-lukisan yang indah.

Karena restoran ini di pinggir danau berarti spotlightnya adalah danau maka dari itu Jiwa memilih untuk duduk di luar sambil memandangi danau yang indah.

“Andai di sini ada Abin, pasti dia seneng banget liat tempat ini.” bisik Jiwa.

Jiwa menatap wallpaper ponselnya yang ternyata masih menggunakan foto Abin, sungguh ia sangat merindukan bintang miliknya.


Abin melihat sekelilingnya, pandangan Abin terpaku ketika ia melihat satu laki-laki memakai kacamata hitam, berpakaian rapi seperti habis pulang kerja kantoran, “Itu kaya Jiwa deh,tapi gak mungkin juga dia ada di sini kan ini mah mata gue aja kali dah apalagi gue lg kangen gini udah pasti kebawa delusi ini mah.” ucap batin Abin.

Sedangkan di seberang sana juga memandang balik Abin dan seperti orang kebingungan, “Mirip Abin, rambutnya, senyumannya,” ucap Jiwa, “ah ini mah ngaco aja kali anjir pikiran gue ni pasti gara-gara abis liat ini makanya gue pikir tu cewe Abin.”

Destinasi selanjutnya yang akan dikunjungi Abin adalah Big Ben atau sering disebut dengan menara jam, menara jam ini terletak di sebelah utara Istana Westminster, London, Britania Raya. Kali ini tempatnya agak jauh dari restoran itu jadi Abin memilih untuk menggunakan taxi agar bisa sampai ke tempat tersebut.

Sedangkan Jiwa, apartemen miliknya itu berdekatan dengan Big Ben dan ia sering kali berjalan-jalan sekitar apartemennya yang dekat juga dengan Big Ben, tak lama setelah Abin pergi, Jiwa juga keluar dari restoran tersebut ia akan pulang ke apartemennya karena sesungguhnya ia sudah lelah seharian ini berada di luar.

Sesampainya Abin di kawasan Big Ben, ia langsung mencari tempat duduk agar bisa memandangi jalanan yang kini sedang ramai. Jiwa yang baru sampai parkiran apartemennya langsung menuju ke unit miliknya namun ia melupakan sesuatu yaitu ia harus membeli cemilan karena cemilan miliknya sudah habis jadi mau tidak mau ia harus turun kembali dan berjalan sedikit untuk pergi ke supermarket.

Abin kini sedang berjalan-jalan tanpa arah menyelusuri kawasan ini. Ia bingung harus kemana lagi, ia pikir bepergian sendiri itu menyenangkan namun ternyata tidak, tidak ada yang bisa diajak berbicara rasanya ia tetap kesepian. Jiwa keluar dari supermarket tersebut dan berjalan menuju apartemennya lagi, sebelum itu ia sudah mengingat-ingat agar tidak ada yang perlu dibeli lagi nanti.

Abin melihat adanya supermarket dan ia ingin membeli makanan ringan untuk dirinya, ia berjalan ke arah supermarket itu sedangkan Jiwa berjalan ke arah apartemennya yang dimana mereka jalan berlawanan arah tanpa mereka sadari mereka berada di lingkungan yang sama.


Inilah akhir kisah mereka, jalan mereka memang sudah berbeda dan berlawanan entah sejak kapan mereka seperti itu.

Tentu saja ini menyakitkan bagi mereka berdua, jika mereka memilih untuk tetap bersama nantinya akan jadi saling menyakiti. Memang sudah takdirnya mereka berpisah agar mereka sama-sama tidak lagi saling menyakiti dan mengecewakan.

Terkadang kita harus merelakan sesuatu hal bukan karena kita menyerah tapi mengerti bahwa ada hal yang tidak bisa dipaksakan karena apapun penjelasan dan alasannya kehilangan akan selalu terasa begitu menyakitkan dan ikhlas tidak melulu soal merelakan. Tetapi tulus ialah kondisi di mana kita melepaskan tanpa adanya beban dalam hati.

“Bagaimana pun kita sudah menjalani semua itu,biarlah segalanya menjadi kenangan yang akan selalu indah untuk dikenang.” – Bintang Kanaya.