uwooskyes

#03

Mata indah milik Sherra terus memandangi kemana Nalen berjalan, 2 bangku depan sudah terlewati oleh Nalen dan ia memberhentikan dirinya tepat di samping bangku Sherra.

“Makasih, gak usah repot-repot.” ucap Nalen dengan pandangan yang lurus tidak menatap Sherra.

Sherra terperangah mendengar itu, seketika bulu kuduknya merinding semua. Di samping Sherra sudah ada Abel, Abel yang menyaksikan itu pun rasanya ingin berteriak sembari melompat karena senang akhirnya Nalen berbicara kepada Sherra setelah satu tahun Sherra mengaku padanya bahwa ia menyukai Nalen.

“Asli asli ini namanya kemajuan sher.” heboh Abelva.

Sherra menggenggam kedua tangan Abel, “Ini gue mimpi gak sih?”

Abel melepaskan genggaman Sherra dan mencubit pelan pipi Sherra, “Aw, sakit anjing!”

“Itu gak mimpi namanya.” jelas Abel tersenyum lebar seperti dirinya yang sedang jatuh cinta.

Rasanya Sherra ingin tertawa keras menertawai satu temannya yang sangat mudah ditipu perihal ini, Abel selalu bersemangat ketika Sherra melancarkan aksinya kepada Nalen dan mereka berdua selalu membahasnya ketika nanti mereka bertemu di luar sekolah, menertawai kebodohan temannya itu.

#01

Kini Nalen berada di sebuah supermarket, ia sedang menunggu Sherra—pujaan hatinya. Tahun ini adalah tahun ke 4 mereka berpacaran namun sayangnya Sherra dan Nalen belum memiliki rencana untuk mempublish hubungannya itu.

Sherra menepuk pundah Nalen, “Hey, melamun aja kamu!”

Nalen tersenyum ketika melihat sang kekasih. Menurut Nalen, Sherra adalah satu-satunya perempuan yang bisa membuat Nalen seperti ini.

Nalen memakaikan helm ke kepala Sherra, “Mau makan dulu?”

Sherra menggeleng, “Langsung pulang aja gapapa kan? aku udah capek banget.”

“Oke siap.” Nalen memgacungkan jempol tangannya.

Di perjalanan, Sherra mengajak bicara Nalen dengan pertanyaan-pertanyaan unik miliknya.

“Nalen, pohon-pohon yang di tengah jalan itu siapa yang nyiramin ya?” tanya penasaran Sherra.

“Ada pekerjanya sher, biasanya sih malem-malem atau mungkin subuh-subuh.” jawab Nalen santai.

Bibir Sherra membulat, “Ohhh gitu ya,”

“Terus nih ya, kenapa orang yang main sepatu roda cuma bisa di jalan beraspal gitu?” tanya Sherra lagi.

“Sepatu roda tuh emang harus dimainin di jalan yang halus dan datar sher, kalo gak ya nanti bisa jatuh dong karena jalanannya rusak bolong-bolong gitu.” jawab Nalen sembari tersenyum melihat Sherra melalui spion motornya.

“Ah, aku bisa tuh main di jalanan rumah nenek.” ujar Sherra.

“Bisa apa?” tanya Nalen.

“Bisa nyusruk, hahahaha.” tawa Sherra.

Rasanya Nalen ingin mencubit pipi bulat milik Sherra karena sungguh perempuan itu sangat lucu bagi Nalen.

#0.0 Prolog

“Lo suka sama gue?” to the point Sherra.

Nalen sedikit terkejut mendengarnya, “Iya, lu keberatan?”

Sherra menggelengkan kepalanya dan tersenyum manis, “Yaudah pacarin gue kalo gitu, biar lu jadi pacar pertama gue.”

“Lu mau jadi pacar gue?” tanya Nalen.

Selama hampir 5 tahun mengenal dan berteman dengan Sherra, Nalen sepakat menjatuhkan hatinya kepada Sherra, perempuan manis nan lucu yang ia temui dibangku Sekolah Dasar.

Sherra mengangguk mengisyaratkan bahwa ia setuju dengan ajakan Nalen, “Emangnya gue bisa nolak?”

Nalen tertawa, “Gak boleh nolak dong.”

Seperti itulah mereka memulai kisah cintanya, memang sederhana namun itu menjadi kenangan yang akan tersimpan dihati mereka masing-masing.

#0. Prolog

“Lo suka sama gue?” to the point Sherra.

Nalen sedikit terkejut mendengarnya, “Iya, lu keberatan?”

Sherra menggelengkan kepalanya dan tersenyum manis, “Yaudah pacarin gue kalo gitu, biar lu jadi pacar pertama gue.”

“Lu mau jadi pacar gue?” tanya Nalen.

Selama hampir 5 tahun mengenal dan berteman dengan Sherra, Nalen sepakat menjatuhkan hatinya kepada Sherra, perempuan manis nan lucu yang ia temui dibangku Sekolah Dasar.

Sherra mengangguk mengisyaratkan bahwa ia setuju dengan ajakan Nalen, “Emangnya gue bisa nolak?”

Nalen tertawa, “Gak boleh nolak dong.”

Seperti itulah mereka memulai kisah cintanya, memang sederhana namun itu menjadi kenangan yang akan tersimpan dihati mereka masing-masing.

#0.0 Prolog

“Lo suka sama gue?” to the point Sherra.

Nalen sedikit terkejut mendengarnya, “Iya, lu keberatan?”

Sherra menggelengkan kepalanya dan tersenyum manis, “Yaudah pacarin gue kalo gitu, biar lu jadi pacar pertama gue.”

“Lu mau jadi pacar gue?” tanya Nalen.

Selama hampir 5 tahun mengenal dan berteman dengan Sherra, Nalen sepakat menjatuhkan hatinya kepada Sherra, perempuan manis nan lucu yang ia temui dibangku Sekolah Dasar.

Sherra mengangguk mengisyaratkan bahwa ia setuju dengan ajakan Nalen, “Emangnya gue bisa nolak?”

Nalen tertawa, “Gak boleh nolak dong.”

Seperti itulah mereka memulai kisah cintanya, memang sederhana namun itu menjadi kenangan yang akan tersimpan dihati mereka masing-masing.

#02

“Adek tolong panggil Sherra gih di kamarnya.” perintah bunda seraya menyiapkan alat-alat untuk makan.

Dengan langkah malas Hanif menaiki tangga berjalan menuju kamar tamu, “Sher dipanggil bunda.”

Sherra yang mendengar itu pun membuka pintu kamarnya berterima kasih kepada Hanif lalu berjalan lebih dahulu dari Hanif.

“Ini nih kamu makan sher.” ujar bunda Hanif.

“Ih sher kok kamu gak makan nasi goreng ini sih? kan ini nasgor terenak tauu.” heran kak Abby.

Hanif ikut bergabung, tanpa sepatah kata ia langsung menaruh bungkusan nasi goreng tersebut ke piring Sherra, Sherra menatap heran Hanif.

“Kenapa lu liatin doang?” tanya Hanif.

Kini mereka berdua menjadi tontonan bunda dan kak Abby, Sherra bukan tidak mau makan nasi goreng itu namun ia memiliki alergi yang entah kenapa setiap makan nasi goreng bibir Sherra akan menjadi lebih besar dan tebal diikuti oleh gatal-gatal beserta demam tinggi.

“Maaf, gue gak bisa makan nasi goreng nif.” Sherra menundukkan kepalanya.

Hanif mengambil alih piring milik Sherra dan membuka bungkusannya lalu ia makan nasi goreng tersebut.

“Sudah sudah tidak apa-apa Sherra, ini tante buatkan salad sayur buat kamu.” ucap bunda memberi salad sayur tersebut ke Sherra.

“Sok sehat.” gumam Hanif.

Tingkah laku Hanif ini membuat Sherra bingung harus menanggapinya seperti apa.

#01

“Najis komuk lu kusut banget kaya keset welcome noh.” cela Jaka yang baru saja tiba.

Davi tertawa keras, “Sialan lu jak kalo ngomong suka reneb dah ah.”

“Kenapa si brother?” tanya Juju—panggilan kesayangan untuk Juan.

Yang ditanya hanya melamun saja, sungguh Hanif merasa keberatan mengenai kedatangan perempuan ini, Hanif tidak biasa berinteraksi dengan perempuan namun mulai hari ini ia harus membiasakan diri dengan keberadaan sosok perempuan yang selalu merepotkan dirinya.

“Puyeng gue.” Hanif mengeluh seraya menghela nafas.

Menurut kacamata teman-temannya, kalau Hanif sudah berbicara seperti itu artinya masalah ini adalah masalah berat.

“Ngape?” tanya Jaka.

“Lu tau sendiri gue gak biasa ngobrol atau ngapain gitu sama cewek dan sekarang gue harus membiasakan diri lagi.” jelas Hanif.

Teman-temannya Hanif mengerti mengapa ia sulit berinteraksi dengan perempuan kecuali keluarganya.

Ketika Hanif berpacaran dengan Kathrine, Kathrine seringkali meminta Hanif untuk menjauhi atau membatasi dirinya dengan perempuan dan sejak itu Hanif benar-benar membatasi dirinya dengan perempuan lain.

“Ya santai aja lah bro, lemesin aja nip. Lagian itu cewek kan juga bukan mau dijadiin pacar lu atau lu dijodohin gitu, kan gak.” saran Davi.

“Masih gamon kali lu, makanya takut deket cewek.” celetuk Jaka.

“Anjing, kagak lah.” balas Hanif.

“Gue liat tadi si cewek itu ke kantin bareng nip ama Kathrine.” ucap Juju.

Hanif mengendikkan bahu seakan tak peduli dengan berita itu.

“Waduh asik nih kalo mereka kenal.” goda Jaka.

Hanif yang tadinya menepis pikiran itu pun sekarang menjadi penasaran.

“Gue cabut dulu.” pamit Hanif seraya melangkah keluar.

Davi baru ingin mengeluarkan kata-kata namun Hanif sudah menghilang dari pandangannya.

“Kurang ajar tuh anak.” Jaka menggerutu sembari menyalakan rokoknya yang dari tadi ia pegang.

#00

Cuaca hari ini seperti tidak mendukung Hanif menggunakan motor kesayangannya, sebenarnya bisa saja ia memakai motor dan menggunakan mantel biru yang biasa ia pakai namun karena hari ini ia harus menjemput seseorang jadi alangkah baiknya ia menggunakan mobil hitamnya itu.

“Adek, ini nanti kamu kasih ke Sherra ya!” pinta Bunda.

Yang dipanggil hanya mengangguk dan memberi jempol nya itu seraya membuka pintu mobil.

“Adek jalan bun.” Hanif membuka kaca mobil dan melambai pada Bundanya.

Hanif terbilang jarang mengendarai mobil, bukan karena tidak bisa mengendarai namun ia malas memakai mobil di tengah Ibukota ini.

Sedari tadi Hanif sudah mengeluh beberapa kali perihal ia tidak mau lagi membawa mobil terkecuali dikeadaan darurat.

“Ini rumahnya yang mana sih.” gerutu Hanif saat memasuki komplek Adayana—tempat tinggal Sherra.

Di kediaman lain, kini Sherra sedang menunggu jemputannya itu. Ia sudah rapi sedari tadi karena ia takut anak temannya mami menunggu lama dan ternyata ia yang harus menunggu.

Hari ini Sherra terlihat excited karena ingin bertemu dengan Kathrine. Ngomong-ngomong soal Kathrine, ia adalah teman semasa SMP Sherra, bisa dibilang Kathrine dan Sherra adalah primadona SMP nya pada saat itu. Kepribadian mereka ini sangat bertolak belakang, Kathrine adalah sosok perempuan yang ramah dan murah senyum sedangkan Sherra adalah sosok perempuan yang sedikit tegas, judes, dan sulit berteman.

Sherra melihat jam tangannya dan menunjukkan pukul 06.15, “Mami, ini kenapa lama banget sih.”

“Sherra, turun. Hanif sudah datang.” teriak Mami dari bawah.

Dengan terburu-buru Sherra menuruni tangga dan melihat ke arah laki-laki yang memakai foto profil kucing lucu itu.

“Dah yuk,” ajak Sherra. “Bye mami, aku jalan dulu.”

Sherra memasuki mobil tersebut dan mengotak-atik radio mobil milik Hanif.

Hanif sedikit terkejut melihat sikap Sherra yang bisa dibilang tidak sopan ini.

“Eh, sorry sorry, gue lupa ini mobil lu.” Sherra menatap Hanif yang sedang menyetir dengan fokus.

Tidak ada jawaban atas permintaan maaf Sherra, sedikit kesal dan kalau mengingat kejadian semalam rasanya Sherra ingin menenggelamkan dirinya ke lautan dalam.

“Fyuh, untung gak telat. Btw makasih ya.” ujar Sherra setelah keluar dari mobil Hanif dan berjalan menuju ke kelasnya.

Hanif menahan tangan Sherra, “Dari bunda.” ucapnya lalu pergi meninggalkan Sherra yang membeku.

“Anjing semuanya ngeliatin gue.” kesal Sherra seraya berjalan dengan cepat.

#04 cw // physical abuse

Malam ini Mitha berencana menginap di rumah Raihan namun tak disangka-sangka hal ini harus terjadi lagi untuk kesekian kalinya.

“MANA ANAK SAYA!” bentak Hardi—ayah Mitha.

“Kamu mau apa datang ke sini?” tanya baik-baik Handoko—papa Raihan.

“KALIAN UMPETIN ANAK SAYA DI MANA!” teriak keras ayah Mitha seraya menerobos masuk ke kediaman Raihan.

“MITHA PULANG KAMU.” suara keras milik ayah Mitha terdengar sampai ke telinga Mitha yang sedang berada di kamar Raihan.

Badan Mitha serasa lemas tak berdaya mendengar teriakan ayahnya, sungguh ia sangat takut.

Mitha duduk di ujung kanan tempat tidur, memeluk lututnya, gemetaran, dan menangis kecil. Memori buruk miliknya seketika berputar diotak Mitha, kali ini ia berharap Raihan cepat datang dan membantu ia kabur dari ayahnya.

Di sisi lain, tante Amira sedang mencoba menghubungi anaknya agar segera pulang dan untungnya Raihan bisa dihubungi.

Mitha lupa mengunci pintu kamar Raihan, derap langkah kaki seseorang semakin terdengar ditelinga Mitha, ia hanya bisa berdoa dan berharap tidak terjadi apa-apa.

Klik

Pintu terbuka dan menunjukkan sosok laki-laki yang ia sebut ayah. Laki-laki yang selama ini sangat ditakuti Mitha karena banyak hal yang terjadi antara mereka.

Ayah Mitha menarik tangan Mitha dengan kasar, “Anak kurang ajar kamu ya!”

Mitha menutup mata, ia sangat takut melihat diri ayahnya yang sedang dikuasai oleh emosi.

Plak

“PULANG SEKARANG!” bentak ayah Mitha sembari menarik-narik tangan Mitha dengan sangat kasar.

Mitha tidak bisa berontak maupun membuka mulutnya karena setiap kali ia membantah sudah pasti Mitha akan mendapatkan hadiah yang lebih menyakitkan dari ini.

Air mata Mitha terlihat jelas dipipinya, Handoko berusaha menahan sang kakak agar tidak membawa Mitha dengan cara seperti ini namun hasilnya nihil, ia malah terpental jauh dekat meja makan.

“Lepasin.” ucap tegas orang yang Mitha harapkan untuk menolong Mitha.

Ayah Mitha menghiraukan ucapan anak bocah itu dan memilih menuruskan jalan keluar rumah Raihan.

“SAYA BILANG LEPASIN!” bentak Raihan yang kini wajahnya memerah.

“Kamu siapa minta seperti itu ke saya?” tanya ayah Mitha seperti menantang Raihan.

Raihan melepaskan genggaman itu dan menarik pelan Mitha ke belakang badannya, “Ini anak om loh, tega om kasarin anak om sendiri?”

“Urusan saya.” kata Hardi sembari ingin menarik kembali Mitha.

“Urusan saya juga, saya saudara Mitha dan saya akan selalu menjaga Mitha dari siapapun yang akan nyakitin Mitha sekalipun itu ayah kandungnya sendiri.” ujar Raihan.

“Berani banget ya kamu!” seru ayah Mitha mengangkat tangan kanannya guna menampar Raihan.

Hap

“Kamu lecetkan anak-anak saya, kamu berurusan dengan saya!” tegas papa Raihan.

Raihan dan Mitha mundur perlahan dan membiarkan papanya yang mengurusi orang yang sedikit tidak waras.

Raihan memeriksa tangan Mitha, ia mengelus tangan itu dan memeluk badan mungil milik Mitha, rasanya sangat sakit sekali melihat perempuan kesayangannya harus merasakan keadaan seperti ini.

#03

Dari kejauhan Mitha menyadari kalau Mirza ada di deretan murid-murid yang terlambat datang ke sekolah hari ini.

Mirza menepuk teman sebelahnya sembari menunjuk ke arah Mitha, “Cakep ye cewek yang itu.”

Sedangkan yang ditepuk malah memberi isyarat agar Mirza berhenti bicara, sepanjang upacara pandangan Mirza tidak lepas sedikitpun dari Mitha.

Mitha menengok ke belakang memastikan siapakah yang diperhatikan oleh Mirza, “Masa gue sih anjir.”

Selesai upacara, Mitha langsung bergegas pergi ke kelas, berbeda dengan Mirza yang kini sedang menjalani hukumannya.

Pelajaran pertama kini sudah mulai namun sedari tadi Mirza belum kembali ke kelas, “Apa hukumannya banyak ya?” pikir Mitha.

“Misi pak!” seru Mirza yang tiba-tiba muncul di depan pintu.

“Kenapa baru datang kamu Mirza?” tanya pak guru.

“Telat pak saya hehe jadi saya nyelesain hukuman dulu.” jawab Mirza sembari nyengir.

“Yasudah duduk sana!” suruh pak guru.

Mitha bernafas lega setelah melihat Mirza yang muncul tiba-tiba, ia rasa kalau ada Mirza semua akan aman, ia tidak merasa sendiri dan kesepian.

“Hari ini saya akan beri tugas kelompok.” kata pak guru.

“Milih sendiri aja pak kelompoknya.” saran salah satu murid.

Mitha yang tidak begitu suka dengan tugas kelompok pun memilih diam, namun diamnya Mitha bukan berarti ia setuju dengan saran teman-temannya itu hanya saja Mitha lebih suka mengerjakan tugas sendirian dibanding harus berkelompok.

“Ya sudah pilih saja, 2 orang perkelompok ya karena ini ganjil berarti ada yang sendirian, apakah tidak keberatan?” tanya pak guru.

Kini semua mata memandang ke arah Mitha dan Mitha cukup sadar diri bahwa ia memang ditakdirkan untuk sendiri.

Mitha mengangguk dan tersenyum tipis, “Saya gapapa pak.”

Mirza yang mendengar itu langsung membantahnya, “Mitha sama saya pak.”

Semua yang mendengar itu terkejut, “Ja lu ama gue ege.” kata Arka.

“Gue sama Mitha, berarti yang sendirian Arka pak.” tegas Mirza.

“Ah pak saya gak mau sendirian pak.” keluh Arka.

“Sudah-sudah, kamu cari orang saja jadi ada 1 kelompok yang isinya 3 orang dan tentu saja materinya lebih banyak karena kalian bertiga.” putus pak guru.

Arka menghela nafas dan terlihat sedikit kesal dengan Mitha, mau tidak mau ia gabung bersama kelompoknya Edwan.