uwooskyes

#Takut

Ponsel milik Amara mati ketika ia mencoba menelpon teman-temannya, ia sudah jalan sejauh itu dengan menenteng sepatu tingginya.

Lama kelamaan jalanan terlihat sangat gelap nan sepi, rasa takut itu kembali datang, badan Amara gemetar, air matanya pun mulai turun.

Di sisi lain, Juan sudah tiba ke tempat makan malam Julian dan Amara, sayangnya Amara sudah keluar dari tempat tersebut. Juan mencoba menelpon Amara tapi tidak aktif.

“Julian bego.” kesal Juan.

Juan berusaha mencari di sekitar tempat itu, sudah hampir semua tempat Juan jelajahi namun ia belum menemukan sosok Amara.

Juan berhenti di sebuah deretan ruko, lampu mobil miliknya menyorot seorang perempuan yang berada di depan toko, perempuan itu memeluk erat kakinya, bahu miliknya bergetar hebat, dan terdengar isak tangis yang berasal dari perempuan itu.

“Mara!” panggil Juan yang menghampiri dan memeluk Amara.

#Tanpa Pamit

“Lain kali bilang dulu lu pake apa biar gue bisa tau gue harus bawa kendaraan apa.” dumel Julian.

Amara mendengus sebal, “Ya di apart gue adanya ini yaudah dong gue pake.”

Julian tidak keberatan dengan penampilan Amara malam ini, hanya saja tidak tepat ketika ia membawa kendaraan roda duanya itu.

“Ra, mau kejengkang?” tanya Julian sembari menyalakan motornya.

Amara tahu maksud Julian, ia mengalungkan kedua tangannya dipinggang Julian. Rasanya sangat aneh, mulut Amara terasa kaku sehingga di perjalanan mereka hanya menikmati angin malam tanpa ada suara dari keduanya.

Setelah sampai tempat yang dimaksud Julian, Amara melihat sekelilingnya, ia merasa bahwa hari ini mereka memang benar-benar akan makan malam secara formal.

“Ini romantis banget tempatnya!” seru Amara.

Julian tersenyum, ia sengaja membawa Amara ke tempat seperti ini karena ia ingin meminta maaf secara tulus perihal sikapnya dimasa lalu.

“Duduk ra, jangan keliatan noraknya.” canda Julian.

Tak lama makanan pun datang, Amara yang bingung karena dirinya belum memesan apa-apa namun makanannya sudah dihidangkan pun akhirnya bertanya, “Ini lu nyiapin semuanya ya?”

Julian mengangguk, “Gue lakuin ini karena mau minta maaf dengan tulus aja, gue gak mau orang punya dendam sama gue.”

“Kan gue bilang yan, dulu mah dulu gak usah dibawa serius, lagian juga masih bocah ingusan kan dulu belum ngerti apa-apa.” tutur Amara.

“Gue gaenak aja sama lu, tiap gue ketemu temen-temen SD tuh mereka ngebahas itu mulu.” kata Julian merasa menyesal dengan perilakunya.

Amara memukul lengan Julian, “Santai aja sih.”

Mereka melanjutkan makannya tanpa bersuara, selesai makan Amara izin ke toilet, ia ingin merapikan penampilannya kembali.

Selang beberapa menit Amara ke toilet, ponsel milik Julian berdering terus-menerus, Julian memeriksa ponselnya itu dan terpampang lah nama kontak Ela'24 yang artinya Naela sudah menelpon Julian berkali-kali, “Anjing, gue lupa.”

Setelah melihat ponselnya, tanpa mengangkat telepon tersebut Julian bergegas pergi bersamaan dengan Amara yang keluar dari toilet.

“Ian kenapa panik banget?” tanyanya pada diri sendiri.

Amara mencoba menghubungi Julian namun tidak ada hasil, teleponnya tidak dijawab bahkan pesan Amara hanya dibaca saja.

“Ini gue ada salah apa ya? kenapa ditinggalin gitu aja?” Amara merasa heran.

Satu jam berlalu tapi tidak ada kabar dari Julian, ia benar-benar pergi meninggalkan Amara tanpa pamit.

Amara berjalan menuju kasir berniat untuk membayar namun ternyata sudah dibayarkan terlebih dahulu oleh Julian. Amara tidak mengerti inginnya Julian, ia meminta imbalan atas pertolongan yang ia berikan beberapa hari lalu, sudah Amara setujui keinginannya namun ia malah meninggalkan Amara sendiri.

Amara mencoba memesan taksi online, sayangnya tidak ada yang menerima. Kini jam tangan milik Amara menunjukkan pukul sepuluh malam.

Amara menghela nafas menahan kekesalan pada Julian, “Tau gitu gue bawa mobil sendiri aja.”

#Mogok

Tepat pukul satu malam, mobil yang Amara gunakan mati secara tiba-tiba, Amara yang buta akan permasalahan mobilpun merasa ketakutan apalagi ini sudah tengah malam dan ia berada di gang yang cukup sepi nan gelap itu.

Ia mencoba menelpon supirnya namun hasilnya nihil, ia juga menelpon Kaluna dan hasilnya pun nihil. Dari jauh Amara mendengar suara motor, Amara berharap orang tersebut bukanlah orang jahat.

Tak lama dari mendengar suara motor, ponsel milik Amara berbunyi menandakan ada notifikasi.

“Ian? itu ian?” celingak-celinguk Amara mencari keberadaan Julian.

Amara mendengar suara langkah kaki yang semakin dekat dengan dirinya.

“Kenapa?” tanya Julian yang membuat Amara terkejut.

Amara memukul pelan Julian, “Jangan ngagetin kek yan.”

“Ini kenapa?” tanya Julian lagi.

“Gak tau, tiba-tiba mati.” jawab Amara.

Julian membuka mesin mobil guna melihat apa yang menyebabkan mobil Amara mati, “Bensin lu aman?”

Amara mengangguk, “Aman kok tadi gue lihat masih ada,”

“Kayaknya sih...” lanjut Amara dengan suara kecil mengingat tadi dirinya tidak melihat dengan baik perihal bensin.

“Coba kuncinya sini.” kata Julian.

Amara menunjuk kuncinya ada di dalam mobil.

Julian mencoba menyalakan namun tetap tidak menyala, “Ini mah udah pasti bensin lu abis,”

“Gue cek mesinnya aman-aman aja kok.” tambah Julian.

Amara menggigit bibir bawahnya, tangannya mulai gemetar, rasa takutnya muncul lagi. Julian melihat dan tahu bahwa Amara kini sedang merasa takut.

Julian memegang pundak Amara, “Lu balik sama gue aja, ini mobil nanti gue yang urus.”

“Gue gak balik ke rumah.” ujar Amara dengan mata berkaca-kaca.

Secara tidak sadar, Julian mengenggam tangan Amara dan mengatakan, “Gak usah takut, ada gue ra.”

Tindakan Julian membuat Amara sedikit tenang, ia memilih untuk meninggalkan mobilnya itu dan ikut pulang bersama Julian.

“Lu gapapa kan sendiri?” tanya Julian memastikan Amara.

Amara mengangguk dan tak lupa juga ia mengucapkan terima kasih kepada lelaki itu.

“Kalo ada apa-apa kabarin gue, udah sana masuk.” kata Julian.

Amara meninggalkan Julian terlebih dahulu, ia sedikit melunak dengan sikap Julian yang seperti ini.

#Muncul

Sedari tadi Amara terlihat sudah sangat gelisah, kakinya tidak bisa diam, entah kenapa ia takut untuk bertemu laki-laki itu.

Kini kelas Amara sudah selesai yang artinya sudah menunjukkan pukul tiga sore. Amara tidak langsung keluar kelas ia sedang berpikir kembali, apakah harusnya ia tidak bertemu laki-laki itu.

“Kayaknya nanti gue langsung kabur aja deh.” kata batin Amara.

Amara keluar kelas dan beralih ke kamar mandi terlebih dahulu karena ingin memeriksa penampilannya.

Tidak terlalu jauh untuk menuju parkiran FEB, Julian sudah menunggu di dekat motornya, ia memandangi area sekitar mencari keberadaan perempuan yang ia tunggu.

Dari jauh Amara sudah melihat Julian yang sedang duduk di atas motor miliknya namun Julian tidak sendiri melainkan bersama dua temannya itu.

Saat Amara melangkah mendekati Julian, Julian menangkap keberadaan Amara dan ia berbicara kepada dua temannya itu lalu mereka pergi meninggalkan Amara dan Julian.

Tangan Amara bergetar seperti orang ketakutan bahkan dari raut wajahnya pun sudah terlihat bahwa Amara sedang ketakutan.

“Ini dompet lu.” kata Amara sembari menaruh dompet itu di atas motor Julian.

Setelah mengucapkan kata itu, Amara membalikkan badannya dan berniat untuk pergi namun tangannya ditahan oleh Julian.

“Lu gapapa?” tanya Julian.

Amara mengangguk tanpa menghadap ke arah Julian.

Julian berdiri di depan Amara, “Ngapain lu liat aspal, mending liat gue yang ganteng nih.”

Amara menggepalkan tangannya, sungguh ia ingin sekali memukul Julian saat ini.

“Ra, lu beneran gak inget g—” ucapan Julian terpotong.

Amara sudah tidak bisa menahan ini, ia lepaskan genggaman tangan Julian dan memukul perut Julian yang entah itu dengan pukulan ringan atau besar karena Amara setengah sadar melakukannya setelah itu Amara langsung meninggalkan Julian yang kesakitan.

“AMARA, INI GUE NIEL YANG NOLAK LU WAKTU SD.” teriak Julian yang masih sempat-sempatnya padahal dirinya sedang kesakitan.

#Jendela

Nara tersenyum lebar melihat ke arah jendela rumah sebelah yang menampakkan Pian sedang memainkan gitar kesayangannya itu.

Jendela itu terbuka lebar dan mengakibatkan suara merdu miliknya terdengar jelas oleh Nara.

The only place I call home You arе Every hope and dream I've ever had You are In other lifetimes, without any doubt I'll keep choosing you

Pian menyanyikan lagu yang seringkali Nara putar setiap malam, lagu itu memang penenang untuk Nara dan Nara tidak tahu bahwa Pian mengetahui hal tersebut.

Pian menatap ke arah Nara yang kini terlihat sedang menikmati lagu yang ia mainkan, jarak rumah mereka itu tidak terlalu jauh maupun terlalu dekat.

Namun, tiba-tiba Pian mengangkat tangannya memberi isyarat “tunggu sebentar.”, Pian terlihat sedang mencari sesuatu dan ternyata ia mencari sebuah kertas dan pulpen biru kesukaannya.

Pian mengangkat kertas itu dan menuliskan, “ Gimana? udah baikan?”

Nara mengangguk sembari tersenyum, ia memang merasa sangat lebih baik berkat Pian.

Pian menulis lagi, “Masuk, nanti masuk angin, boleh ketemu di bawah gak?”

Nara merespon dengan memberi jempol tangannya menandakan bahwa ia menyetujuinya.

Tak perlu lama-lama Nara langsung turun ke bawah dan menunggu Pian.

“Nih, simpan, jangan makan terlalu banyak nanti sakit gigi.” ujar Pian yang memberi 4 kardus yupi—cemilan kesukaan Nara.

Tak henti-hentinya Nara tersenyum, “Makasih ya mas, kalo gitu Nara masuk dulu.”

Pian mengangguk dan menunggu Nara memasuki rumahnya terlebih dahulu.

Dibalik pintu rumah Nara, ia sedang loncat-loncat kegirangan, “Oh gini rasanya jatuh cinta.” kata batin Nara.

#Blushing

[POV Nara]

Cuaca hari ini lumayan cerah, ya walaupun gak secerah biasanya sih, eh by the way gue penasaran banget kenapa mas Pian bilang kalo lagu yang nanti dia bawain tuh cocok sama gue makanya dia nyuruh gue nonton di depan panggung, gak dapet bocoran sama sekali pula makin penasaran kan.

Acaranya udah mulai daritadi dan gue masih kepikiran aja soal lagu itu sampai akhirnya yang gue tunggu-tunggu ini tiba juga, mas Pian dan teman-temannya mulai naik ke atas panggung, gue yang tepat banget ada di depan panggung merasa kalo mas Pian tuh hari ini gantengnya kaya bertambah berkali-kali lipat BENERAN SEGANTENG ITU, dia gak cuma nyanyi tapi ternyata dia juga megang alat musik yaitu gitar.

Mas Pian celingak-celinguk kaya lagi nyari orang, ya sebenarnya gak mau kepedean tapi setelah mas Pian liat dan senyum ke arah gue, gue makin yakin kalo tadi mas Pian nyariin gue.

Alunan musikpun mulai terdengar, mas Pian natap ke arah gue sembari nyanyiin bait awal lagu ini.

Kau begitu sempurna Dimataku kau begitu indah

Deg.....

Apa-apaan nih kok jantung gue berdegup kencang banget, asli gue udah lemes banget gue gak ngerti kenapa lagu ini cocok buat gue, gak mungkin banget mas Pian suka gue, gak mungkin.

Tanpa nunggu lagu itu selesai gue lari ke arah belakang pangung, wah gak sehat nih jantung gue bahaya banget asli dah ah.

“Kenapa lo ra?” kata salah satu panitia yang ada di belakang panggung.

“Muka lo merah banget.” lanjut panitia itu.

ya Allah ini mah gue dibikin malu abis sama mas Pian, benar-benar deh tuh anak.

#Blushing

[POV Nara]

Cuaca hari ini lumayan cerah, ya walaupun gak secerah biasanya sih, eh by the way gue penasaran banget kenapa mas Pian bilang kalo lagu yang nanti dia bawain tuh cocok sama gue makanya dia nyuruh gue nonton di depan panggung, gak dapet bocoran sama sekali pula makin penasaran kan.

Acaranya udah mulai daritadi dan gue masih kepikiran aja soal lagu itu sampai akhirnya yang gue tunggu-tunggu ini tiba juga, mas Pian dan teman-temannya mulai naik ke atas panggung, gue yang tepat banget ada di depan panggung merasa kalo mas Pian tuh hari ini gantengnya kaya bertambah berkali-kali lipat BENERAN SEGANTENG ITU, dia gak cuma nyanyi tapi ternyata dia juga megang alat musik yaitu gitar.

Mas Pian celingak-celinguk kaya lagi nyari orang, ya sebenarnya gak mau kepedean tapi setelah mas Pian liat dan senyum ke arah gue, gue makin yakin kalo tadi mas Pian nyariin gue.

Alunan musikpun mulai terdengar, mas Pian natap ke arah gue sembari nyanyiin bait awal lagu ini.

Kau begitu sempurna Dimataku kau begitu indah

Deg..... Apa-apaan nih kok jantung gue berdegup kencang banget, asli gue udah lemes banget gue gak ngerti kenapa lagu ini cocok buat gue, gak mungkin banget mas Pian suka gue, gak mungkin.

Tanpa nunggu lagu itu selesai gue lari ke arah belakang pangung, wah gak sehat nih jantung gue bahaya banget asli dah ah.

“Kenapa lo ra?” kata salah satu panitia yang ada di belakang panggung.

“Muka lo merah banget.” lanjut panitia itu.

ya Allah ini mah gue dibikin malu abis sama mas Pian, benar-benar deh tuh anak.

#Prologue ;

“Mama, Nara jatuh.” teriak anak perempuan yang dikuncir dua.

Anak laki-laki yang ada di seberang sana menghampiri anak perempuan itu, ia mengulurkan tangannya niat membantu.

“Berdiri, biar sepedanya aku yang bawa.” ucap anak laki-laki itu.

Rumahnya tidak jauh dari lokasi jatuh Nara, karena dilanda rasa penasaran akhirnya anak laki-laki itu berani bertanya.

“Nama kamu siapa?” tanya anak laki-laki itu.

“Nara, Anara.” jawab Nara.

“Aku Javiandoro, panggil aku mas Pian.” ucap Pian.

Nara menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia merasa bingung mengapa dirinya harus memanggil orang yang tak ia kenal dengan panggilan 'mas'.

“Mas pian? mas itu apa?” tanya Nara.

“Kata bunda ku, mas itu seperti panggilan untuk abang.” jawab Pian dengan lantang.

“Tapi kamu bukan abangku, abangku namanya Kevin.” kata Nara dengan muka herannya.

Pian meringis, “Kalo kamu mau, aku bisa kok jadi abang kamu, jadinya kamu punya 2 abang.”

Nara tersenyum lebar dan mengangguk, “Iya aku mau.”

Pian yang tahu dirinya adalah anak tunggal pun merasa senang kini ia memiliki adik walaupun bukan adik kandung.

“Yasudah kamu masuk sana nanti dicari mama mu, aku pulang dulu ya, kalo kamu mau ajak aku main, rumah ku yang warna putih.” ucap Pian sembari menunjuk rumahnya.

Nara mengangguk dan masuk ke dalam rumah, “MAMA AKU PUNYA 2 ABANG.”

Pian yang mendengar suara itu tertawa kecil, menurutnya bertemu dengan Nara adalah sebuah keberuntungan yang mungkin tidak akan Pian temukan lagi. Nara membuat hidup Pian berubah menjadi seperti sekarang, Nara membuat Pian merasa bahwa hidup ini sangat penting. Karena Nara, Pian merasa bahwa dirinya sangatlah berguna untuk orang lain.

#05

“Jaenan?” ragu-ragu Sherra yang melihay seorang laki-laki duduk di dekat ayunan.

“Iya gue Jaenan,” ucap laki-laki itu, “duduk dulu deh.”

Perasaan Sherra tiba-tiba tak karuan setelah melihat maupun berdekatan dengan Jaenan, rasanya begitu menganjal dihati.

“Nyokap lo ada di rumah sakit ini.” kata Jaenan secara tiba-tiba yang membuat Sherra terkejut mendengar itu.

“Nyokap? maksud lu mami gue? kan tadi gue baru makan bareng sama mami.” bingung Sherra.

Jaenan terlihat mengeluarkan sebuah album foto yang sudah usang, ia memberi album itu kepada Sherra.

“Gue nemu ini beberapa bulan lalu, gue pernah liat lo masang story foto waktu lo kecil dan anak kecil dialbum itu pake baju yang sama dengan anak kecil distory lo.” jelas Jaenan.

Sherra membuka album tersebut, dihalaman pertama ia disuguhi foto keluarga yang kala itu terlihat sangat tentram dan damai lalu halaman kedua ia melihat anak kecil yang sangat menggemaskan.

“Gue? kenapa gue ada di album ini?” tanya Sherra dengan wajah bingungnya itu.

Jaenan menggendik bahunya, “Gue gak ngerti juga, coba lo kunjungin kamar nomor 206 lantai 6 VVIP.”

Sherra berdiri dan bergegas pergi ke kamar yang disebutkan Jaenan, namun Jaenan menahan Sherra.

“Pake kartu ini kalo lo gak dibolehin masuk sama perawat, lo tenang jangan terburu-buru. Kalo lo butuh gue, hubungin gue aja gue ada di sini.” ucap Jaenan sebelum melangkah pergi berlawanan arah dengan Sherra.

Sherra sangat merasa heran dengan ini semua, mengapa dirinya ada di sebuah album foto milik keluarga Jaenan. Tanpa basa-basi lagi ia langsung mencari kamar tersebut.

#04

“Lu tau gak si git tadi di kelas gue ada kejadian apaan?” tanya Abel seraya melempar pandangan ke arah Sherra.

Gita mendekat ke Abel, “Apaan tuh?”

“Udah ah lu pada gosip aja, mending makan tuhhh ntar keburu dingin.” sela Sherra sinis.

“Chat aja bel chat.” penasaran Gita.

Abel memberi isyarat oke kepada Gita, di kantin kini tidak terlalu ramai namun tiba-tiba ada aura mencekam yang entah darimana datangnya.

“Woi Isabela.” teriak anak laki-laki yang sedang berjalan kearah Sherra dan teman-temannya.

Abel menengok, ia sudah tahu suara siapa yang mengganggu telinganya itu.

“Apa lo!” Abel berdiri berhadap-hadapan dengan laki-laki tersebut.

“Gue mau nyapa doang sih, galak banget.” ujar Jaka.

Sherra tersenyum kepada teman-temannya Naren, “Bel udah udah.”

“Dibilangin nama gue tuh Abelva bukan Isabela, kenapa sih gak ngerti-ngerti.” protes Abel kepada Jaka sembari menarik telinganya.

“Aduhhhh iya iya Abelva.” Jaka melepaskan tangan Abel yang memegang telinganya.

Semuanya menggelengkan kepala serentak, dua insan ini memang sulit sekali untuk akur atau akrab untungnya mereka tidak sekelas.

“Jak udah ayo cabut!” ajak Naren melewati Sherra begitu saja.

Gita yang melihat itu tersenyum dan menyenggol pelan bahu milik Sherra.

“Kalian lucu banget.” bisik Gita tepat ditelinga Sherra.