uwooskyes

#Papa

“Gue gak ngerti semuanya.” kata Amara.

Adel menghela nafas, “Goblok lu, gue udah jelasin panjang-panjang malah baru bilang.”

“Iya intinya aja intinya.” ucap Amara.

Adel mendekat ke arah Amara, “Papa sengaja gunain lu buat narik lawannya papa, dia kan niat jodohin lu sama si tua bangka itu demi perusahaannya dia lebih naik lagi dari sekarang terus mami bilang kalo itu sama aja kaya papa mau ngejual lu ke tua bangka itu.”

Amara terdiam sekian detik, “MAKSUD LU PAPA SENGAJA GITU?”

“Iyalah, maka dari itu setelah selesai jodohin lu sama tua bangka itu tuh papa bakalan nerima persenan dari dia dan hidup lu gak akan pernah tenang ra.” jelas Adel.

Setelah mereka berbincang panjang mengenai niat jahat papa mereka, kini mereka sudah kembali ke kamar masing-masing.

Amara sedang merenungi masalah ini, ia benar-benar tidak habis pikir dengan sikap papanya yang seperti haus akan kekayaan. Ia bersyukur tahu tentang ini sebelum ia menandatangani kontrak yang beberapa hari lalu papanya sodorkan, papa bilang ini wasiat dari keluarganya dan Amara tahu betul keinginan mami sedari dulu adalah berkumpul bersama keluarga papanya maka dari itu Amara menerima perintah papanya tanpa pikir panjang.

“Ian lagi ngapain ya?” pikir Amara.

Lah kok tiba-tiba kepikiran manusia ngeselin tapi baik hati dikit, dikit ya dikit. Ini namanya rindu gak sih?

“Chat aja kali ya.” ucap batin Amara.

#Batu

“Ada apaan sih!” ketus Amara melihat Adel dan Juan datang bersamaan.

Adel mendorong koper miliknya dan Juan mungkin mendorong koper milik Amara. Sudah banyak pertanyaan dipikiran Amara namun ia terkejut mendengar pernyataan Adel.

“Mami pergi dari rumah.” tutur lemas Adel sembari membaringkan badannya di sofa. Ia menangis.

Amara mendekati Adel, “Kenapa? alasannya apa?”

“Mami marah ra, marah banget pas tau soal kontrak itu,” ujar Adel, “dari awal pun mami gak setuju untuk itu.”

“Tapi ini demi kebaikan mami juga kan del, lu tau kenapa papa mau lakuin itu.” kata Amara.

“Gue tau tapi masih banyak cara lain ra, gak harus lu dan papa ngorbanin diri jadi orang tolol tau gak!” marah Adel mengusap wajahnya kasar.

Juan diam membisu mendengar dan melihat pertengkaran kakak beradik ini, ia tahu mereka berdua adalah dua orang yang kepalanya sama dengan batu.

“Kita ikut minggat gitu?” tanya Amara mengernyitkan dahinya.

“Iya, kalo lu gak mau yauda.” jawab Adel menghapus air matanya dan berjalan menuju kamar kedua di unit Amara.

Juan merentangkan tangannya guna memeluk Amara, “Sini.”

Amara berjalan pelan ke arah Juan dan memeluk Juan sangat erat, sejak dahulu dikala Amara sedang bersedih sudah pasti Juan merentangkan tangannya terlebih dahulu atau kadang juga memeluknya tanpa izin dan mereka sudah terbiasa dengan itu.

#Bekal

Julian menyentil dahi Amara sangat pelan bahkan bisa dikatakan seperti mengelus, Amara tersenyum, senyuman yang sudah Julian amat rindukan.

“Mana?” tagih Amarah.

Julian memberikan totebag yang berisi makanan dan snack-snack, “Ini dimakan, snacknya juga dimakan.”

Amara menatap Julian dengan tatapan berbinar-binar, “Apa kita bisa bersatu ya yan?” batin Amara.

“Kenapa?” tanya Julian sadar dengan tatapan yang berbeda.

Amara menggelengkan kepalanya, “Gak. Makasih ya yan, gue lanjut kerja lagi ya.”

Amara melambaikan tangannya dan berjalan menjauh dari Julian, “Neng Amara cantik ya mas?” tanya mang Edy.

Julian tersenyum kecil, “Cantik banget mas, bikin saya makin suka,”

“Yauda mang, saya pulang ya mang.” pamit Julian menaiki motornya.

#Tangga

“Pegangin yang bener Juan!” protes Amara ketika merasa tangganya bergoyang.

Juan tertawa, “Ini gue pegangin ra.”

Akhirnya Amara pun menapakkan kakinya dengan selamat, kucing peliharaan Juan ternyata sudah menunggu Amara di depan gerbang Juan.

“Aduh anak-anakku sangat lucu sekali.” puji Amara sembari menggendong Kitty—kucing betina yang Amara namai Kitty.

Rumah Juan memang terlihat sepi karena ia hanya tinggal bersama mba Ani yang membantu membereskan rumahnya dan pak Ucup supir keluarganya, kedua orang tua Juan sudah meninggal beberapa tahun lalu karena kecelakaan pesawat maka dari itu ia tinggal sendiri.

“Udah 2 hari ini gue liat-liat lu gak keluar rumah, gak kuliah lu?” tanya Juan.

Amara menggelengkan kepala, “Gue mau ngundurin diri.”

Pernyataan Amara sungguh membuat Juan terkejut pasalnya yang ia tahu bahwa Amara bukanlah orang yang takut akan gosip-gosip yang beredar di kampus.

“Apa-apaan lu!” seru Juan langsung mendekati Amara.

Amara tersenyum, “Gue setuju sama pilihan bokap.”

“Lu bisa nolak kalo lu gak mau ra.” tegas Juan.

“Gue mau,” ujar Amara, “Mereka gak maksa gue tapi emang gue yang mau.”

Juan tidak berkutik lagi setelah mendengar bahwa Amara sendiri yang mau melakukan keinginan papanya.

Sedari dulu, Amara selalu mau melakukan apa yang diinginkan oleh orang tuanya, yang Juan tahu Amara tidak diberi kebebasan untuk memilih jalan hidupnya sendiri maka dari itu Amara bekerja setengah waktu demi mencapai keinginannya sendiri tanpa bantuan kedua orang tuanya. Walaupun begitu, ia jarang sekali mengeluh tentang hidupnya, hanya sesekali saja.

#‎

“Itu mereka ngomongin apa sih?” penasaran Amara.

“Lu kalo kepo tadi gak usah sok ikut pengen keluar.” kata Juan menyentil dahi Amara.

“Aw, sakit Juan.” ringis Amara.

“Iya ra harusnya lu diem aja di dalem nemenin mereka.” sahut Yoga.

“Idih gila kali gue ikut campur urusan mereka.” jawab Amara.

“Tenang aja ra, jangan gelisah gitu dong.” tegur Juan yang melihat kaki Amara tidak bisa diam dan berakhir Amara menatap sinis ke arah Juan

#Shock

“Yan ada Naela nih.” ucap Yoga yang baru saja datang dengan membawa pesanan Julian tadi.

Mereka bertiga serempak menengok ke arah pintu, Amara mengedarkan pandangannya ke arah lain sembari meletakkan piring bubur yang tadinya ia pegang guna menyuapi Julian.

Dari mereka bertiga yang tidak terkejut ialah Juan, kedatangan Naela itu karena Juan yang memberi tahu bahwa Julian sedang sakit dan berada di rumahnya. Namun, Juan tidak memberi tahu secara sengaja ataupun cuma-cuma hanya saja Naela menelpon Juan dan meminta tolong pada Juan.

Amara ingin bangkit dari duduknya namun Julian menahannya, “Di sini aja.”

“Kenapa la?” tanya Julian sembari mendudukkan dirinya.

“Eh udah ada Amara ya, kalo gitu gue balik aja deh.” pamit Naela.

“Kenapa sama Mario?” tanya Julian lagi memastikan.

Amara sadar akan satu hal, Julian sangat mengerti Naela bahkan tanpa Naela membuka mulutnya Julian sudah mengerti maksud Naela.

Tanpa menjawab pertanyaan Julian, Naela mendekat ke arah Julian dan memeluk Julian sangat erat di depan Amara dan kedua temannya itu.

Badan Amara menjadi kaku, ia tidak tahu harus bereaksi apa bahkan kakinya mendadak tidak bisa digerakkan. Tidak hanya Amara yang terkejut tetapi Juan dan Yoga juga terlihat sangat terkejut.

#Kesal

“Ian ya tuhan yan sadar yan jangan gila, inget dosa lu masih banyak yan.” heboh Juan yang melihat Julian memegang pisau.

“Apa sih lu dateng-dateng heboh.” ujar Julian.

Juan menyengir, “Hehehe.”

Kini Juan berada di rumah Julian, rumah yang sudah kosong sejak 3 tahun lalu, mereka memang seringkali bermain ke rumah itu bahkan rumah itu dijadikan basecamp oleh mereka. Kalo kata Julian, Biar ke isi aja.

Dulu rumah ini penuh dengan hal-hal indah namun sejak kepergian ayahnya, rumah ini berubah suasana menjadi hening, sepi seperti tidak ada kehidupan di dalamnya. Sampai akhirnya ibu memutuskan pulang dan tinggal di kampung berbanding terbalik dengan Julian yang memutuskan tetap berada di Jakarta hanya saja ia memilih untuk keluar dari rumah tersebut.

“Alah jangan galau-galau dah yan bukan lu banget anjing.” ucap Juan mengacak-acak rambut Julian

“Gue galauin Amara.” celetuk Julian.

Juan ketawa, ia merasa bahwa ini lucu. Seingat Juan selama Julian dekat dengan Naela, Julian tidak pernah se galau ini.

Juan menepuk bahu Julian, “Kayaknya baru kali ini lu kusut lebih dari satu hari,”

“Ya gak?” lanjut Juan.

Julian menepis tangan Juan dan membenarkan duduknya, “Hah, emang iya ya?”

“Lu terakhir galau yang waktu si Naela ada acara nginep tuh di vila taunya ada Mario juga, itu kan terakhir kali?” tanya Juan.

Julian terdiam tak lama ia mengangguk, “Itu udah 6 bulan yang lalu kali dah.” tambah Juan

Julian masih terdiam, ia juga merasa aneh mengapa sekarang dirinya seperti tidak mau kehilangan Amara lagi.

“Lu dari dulu tuh cuma mau Amara yan terus kebetulan ketemu Naela yang mirip Amara, lu gak bener-bener jatuh cinta sama Naela yan, ibarat kata nih lu nyari Amara didiri orang lain yang nyatanya mah Amara dan Naela 2 orang yang berbeda,” jelas Juan.

“Lu tuh suka ngelak dan ngubur tuh perasaan lu buat Amara tanpa lu sadari rasa lu buat Amara gak akan pernah bisa ilang karena lu masih mencoba berusaha nyari yang mirip Amara.” jelas Juan lagi.

Hening, tidak ada jawaban. Juan menengok ke samping kanannya, “BANGSAT JULIAN BANGSAT.”

Orang yang ia beri nasihat malah tertidur pulas, seketika Juan menyesal berbicara panjang dengan manusia setengah setan seperti Julian.

#Rumah Sakit

“Ruangan ela di mana?” tanya Julian yang terlihat sangat khawatir.

Amara menunjuk ke arah salah satu bilik kamar, Julian berlari pelan menuju kamar tersebut namun Amara menahannya.

“Ada Mario di dalam.” kata Amara.

Julian menghempaskan badannya ke bangku, tubuhnya melemas ketika mendengar nama orang yang sangat ia benci.

Amara memperhatikan Julian, “Ian sesayang itu ya sama ela.” gumamnya.

“Di sini aja.” ucap Julian yang melihat Amara berjalan menjauh.

Amara menengok, “Gue gak mau ganggu kalian.”

“Di sini aja, gue butuh lu.” tutur Julian dengan suara yang sangat kecil samar-samar Amara mendengarnya.

Amara tertegun mendengarnya, 2 minggu yang lalu Amara melihat Julian dan Naella bertengkar hebat di parkiran, mereka menyeret nama Amara yang mengakibatkan malapetaka buat dirinya.

#Rumah Sakit

“Ruangan ela di mana?” tanya Julian yang terlihat sangat khawatir.

Amara menunjuk ke arah salah satu bilik kamar, Julian berlari pelan menuju kamar tersebut namun Amara menahannya.

“Ada mario di dalam.” kata Amara.

Julian menghempaskan badannya ke bangku, tubuhnya melemas ketika mendengar nama orang yang sangat ia benci.

Amara memperhatikan Julian, “Ian sesayang itu ya sama ela.” gumamnya.

“Di sini aja.” ucap Julian yang melihat Amara berjalan menjauh.

Amara menengok, “Gue gak mau ganggu kalian.”

“Di sini aja, gue butuh lu.” tutur Julian dengan suara yang sangat kecil samar-samar Amara mendengarnya.

Amara tertegun mendengarnya, 2 minggu yang lalu Amara melihat Julian dan Naella bertengkar hebat di parkiran, mereka menyeret nama Amara yang mengakibatkan malapetaka buat dirinya.

#Jatuh Lagi?

Julian melepas jaket dan helm yang ia kenakan, ia melihat Amara tersenyum lebar yang sedang melayani pelanggannya dengan baik, ia berpikir kembali apakah ia harus masuk atau justru memakai jaket dan helmnya lagi dan lanjut berjalan sesuai hatinya karena dirasa tidak enak menganggu Amara yang sedang bekerja.

Amara sadar orang yang ia tunggu sudah ada di parkiran namun tak kunjung masuk juga, akhirnya mereka bertatap-tatapan dilapisi oleh jendela, tangan Amara melambai-lambai menyuruh lelaki itu masuk.

“Lama banget masuknya, lagi mikirin apaan lu!” tegur Amara.

Baru kali ini Julian terpana melihat penampilan Amara, rambutnya terurai, ia memakai apron bewarna putih dan bercorak bunga-bunga yang membuat Amara terlihat lebih indah dari biasanya.

Amara memukul lengan Julian, “Woi! bengong aja.”

“Hah,” Julian tersadar, “iya apa ra?”

“Mau pesen apa?” tanya Amara dengan tatapan lembut.

“Yang best seller aja deh pokoknya.” jawab Julian mengalihkan pandangannya ke sembarang tempat.

“Yaudah, lu naik ke atas lantai 2 aja ke balkonnya, gue ganti baju dulu.” tutur Amara.

Julian menunggu di balkon yang Amara katakan, sepertinya lantai ini hanya untuk orang-orang tertentu karena kalau Julian lihat secara keseluruhan lantai ini hanya memiliki 3 ruangan dan setelah itu hanya ada ruang terbuka untuk kumpul keluarga.

“Capek kenapa sih yan?” Amara datang dengan sebuah pertanyaan.

Julian tersenyum tipis, “Maksud gue, gue capek nunggu depan rumah gak disuruh masuk ya mana gue laper kan.”

Amara tertawa kecil, “Kasian amat, itu pesanan lu dikit lagi juga dianter pasti.”

“Punya lu?” tanya Julian.

Amara mengernyitkan keningnya, “Ini?”

Julian mengangguk, “Bukan, bukan punya gue,” kata Amara.

“Punya keponakannya nyokap.” lanjut Amara.

Akhirnya makanan dan minuman yang Julian pesan datang juga, mata Julian tidak lepas dari makanan yang kini sedang dihidangkan.

“Kayanya enak.” ucap Julian.

“Bukan kayanya lagi tapi emang enak yan.” senyum bangga Amara.

Amara memerhatikan Julian, ia merasa Julian adalah orang yang sama dengan beberapa belas tahun ke belakang, tidak ada perubahan yang spesifik menurutnya. Ia rasa perasaannya akan muncul kembali kalau terus-terusan berurusan dengan Julian.